Minggu, Desember 15, 2019

Luka Berhenti Di Sini #CeritaClara



Hai. Selamat malam. Aku Clara. Baru saja menerima kenyataan pahit yang berbuah manis. Berkisah tentang diriku yang menjalani sebuah toxic relationship hanya untuk meluapkan segala emosi. Menyakitkan? I think ya bukan hal munafik. But, buat kalian yang baca ini, Clara berharap kalian boleh menjadikan ini sebagai gambaran tentang selalu berhati-hati menghadapi seseorang yang full of toxic.

Di awal hubungan, kami bagaikan sepasang muda-mudi yang sedang di mabuk cinta. Tiada putus dalam berkomunikasi. Walaupun bertemu hanya sesekali tapi lebih nyaman dengan komunikasi lewat chat. Indah, ya begitu indah. Yang aku tahu, dia adalah sosok yang manis, sopan, lucu, menghargai dan mendukung segala apa yang aku lakukan. Bahagia memiliki dia, merasa paling beruntung dan bersyukur bahwa Tuhan mengirimkan dia untuk menghiburku di kala aku terjatuh, menyemangati di kala aku down dan mendoakanku agar aku selalu berada di jalan yang baik.

Waktu demi waktu, muncullah pertengkaran yang tidak jarang kami lalui. Ada-ada saja hal bodoh yang salah satu dari kami lakukan untuk memanaskan masalah yang ada. Terkadang aku yang mengalah, terkadang juga dia. Tapi kayaknya Clara lebih banyak mengalah di hubungan ini. Jenis masalahnya beragam, mulai dari jealous, friend, sampai masalah kerjaan dan keluarga. Berat sekali mematahkan tiap permasalahan. Dan berujung pada forgive and apologize.

Dengan seringnya pertengkaran yang ada, aku merasa hubungan ini sudah tak semakin sehat. Dia tak mengindahkan apa yang aku tuturkan, dan juga dia menikmati setiap perilaku yang ia tahu bahwa aku tak pernah menyukai hal tersebut. Aku berusaha memaklumi, lagi dan lagi. Bahkan telah ada kesepakatan untuk tak saling mengurusi, yang kami tahu adalah hanya saling mencintai. Sh*t! Bagaimana bisa Clara menjalani suatu hubungan tanpa mengurusi? Apa iya aku menahan sesak di dada karena kelakuan dia yang semakin menjadi-jadi?!

Dia meyakinkanku bahwa ada ketulusan cinta dalam hatinya yang tak perlu aku ragukan. Lantas bukti cinta apa yang telah kau beri? Bukankah salah satu bukti cinta adalah dengan memahami apa yang pasangan inginkan? Aku selalu merasa terluka dengan sikapnya yang tak pernah bisa berubah. Malam hari aku terbiasa berhayal dan kembali bersedih, mau dibawa ke mana hubungan ini? Apakah aku hanya pelampiasan emosi, apa aku hanya persinggahan sementara yang ingin kau coba mainkan? Aku penuh luka di hubungan ini. Jika tak mengingat karena perjuanganku mendekatinya, mendapatkan hatinya dahulu, mungkin aku akan pergi meninggalkannya begitu saja. Tapi lagi dan lagi, aku belajar sabar akan sikap toxic-nya terhadapku.

Hingga suatu waktu, aku memarahinya karena perbuatan yang tak ku sukai, lalu dia balik membenci perkataanku. Keesokan harinya telah ku lihat dia memblokir kontakku, entah apa salahku. Perlahan-lahan memblokir di segala media sosial. Aku ingin bertanya 'Kenapa denganku?', tapi akhirnya berujung diam seribu bahasa. Aku menahan amarahku, aku tak berdaya dalam hubungan seperti ini. Dia berjanji, lalu pergi. Aku mencoba introspeksi diri, bukan kata maaf yang ku dapat malah dia tutup komunikasi di segala penjuru.

Setelah hampir dua bulan, Clara masih memantau melalui teman-temannya yang kebetulan berteman denganku (in social media). Yang aku temukan, dia bahagia, bahkan telah ada wanita yang setia menemaninya. Entah ini luka atau syukur. Hingga suatu malam, aku gelisah, aku harus menyelesaikan ini semua. Cek per cek, foto profil WhatsApp-nya terlihat di kontakku, it's mean dia unblock di WA. Dengan penuh kesabaran dan meneteskan air mata, aku memberanikan diri untuk memulai obrolan. Yang pada intinya aku ingin bertemu untuk menyelesaikan masalah. Dia membalas pesanku, jawabannya tidak ingin bertemu karena merasa sudah tidak ada lagi urusan yang harus dia selesaikan denganku. Lalu aku bercanda 'Tidak ada perpisahan termanis?', katanya 'Tidak ada'. Aku pun menghela napas panjang dan menghapus air mataku.

Tak terasa malam itu sudah pukul satu dini hari. Clara masih berusaha menghapus kekesalan sembari embaca ulang percakapan terakhir. Dia berkata bahwa dia sangat membenciku, jengkel padaku dan tidak mau berteman denganku lagi. Lalu apa yang aku lakukan? Aku merasa berada di titik terendah, merasakan sakit hati dan kehilangan. Tapi setelah ku berpikir ada hal positif yang bisa ku ambil, aku tak akan menyerahkan hatiku untuk lelaki toxic, aku berharap dia akan lebih baik ke depannya tanpaku dan juga aku bersyukur luka ini sudah terhenti di sini. 


Udah dulu ya, jangan lupa tersenyum dan semangat dalam berbuat baik. Clara akan menyayangi kalian semua yang juga menyayangiku. Spread love đź’•

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

© WAFER | Blogger Template by Enny Law